Sejak berdirinya Indonesia School of Photography (ISOP) tahun 2007 di kota Malang, keberadaan peserta didik difabel baru ada pada 2013. Andi Tanriola (32) pendiri ISOP menuturkan, ada 20 peserta didik tuli di lembaga yang berkantor di Jalan MT. Haryono, samping perbelanjaan Sardo, Malang. Pada 2014, enam orang di antara mereka menyelenggarakan pemeran foto yang dihadiri oleh beberapa pengunjung penghobi fotografi.
Sesuai penuturan Ola, sapaan akrab Andri Tanriola, pada awalnya ada beberapa orang tua yang memiliki anak tuli mendatangi ISOP. Para orang tua tersebut menanyakan kelas yang bisa diikuti oleh anaknya yang tuli. Lalu ISOP memberikan akses sehingga para tuli bisa mengikuti proses pendidikan fotografi di ISOP. “Kami membuat kelas tuli gratis, juga merupakan program sosial ISOP sebagai lembaga pendidikan. Terkadang kita juga menggabungkan antara tuli dan reguler. Tidak ada bedanya,” kata Ola.
Kehadiran peserta didik difabel di ISOP diterima dengan terbuka, bahkan Ola, tidak menampik kalau teknik memotret difabel terbilang baik. “Kemampuan mereka jika saya nilai, bahkan di atas rata-rata. Mereka memiliki penglihatan yang sangat peka, itulah kenapa kita membuka kelas untuk tunarungu,” katanya.
Atas hadirnya para difabel di ISOP, dengan penuh percaya diri Ola mengatakan bahwa ISOP merupakan lembaga pendidikan fotografi pertama di Indonesia yang menyediakan akses bagi difabel. “Kami pertama dan satu-satunya di Indonesia sekolah fotografi yang mengadakan kelas tuli,” ungkap Ola yang menambahkan keterangan bahwa lulusan ISOP setara dengan lulusan D1 . Inovasi ke depannya, ISOP tidak hanya menerima tuli saja, tetapi juga akan menerima difabel yang lainnya.
Next: Pameran Keliling Karya Difabel
Pada tahun ajaran yang baru ini, ISOP membuka kelas khusus tuli. Ola menilai, para tuli yang berada di ISOP dalam mempelajari belajar fotografi perlu diperkenalkan ke khalayak umum melalui karya mereka. Dengan begitu, keberadaan tuli bisa diketahui oleh orang banyak. Pameran foto oleh para tuli akan menarik rasa penasaran khalayak umum. Ola memanfaatkan peluang itu sebagai ajang unjuk gigi karya para tuli melalui kegemarannya di dunia fotografi.
Tidak sampai di situ, ISOP berencana mengenalkan karya difabel melalui foto mereka di beberapa kota. Hal itu dipertegas dengan agenda pameran foto oleh para peserta didik difabel ISOP. “Kami ke depannya berencana untuk pameran keliling khusus tuli, mungkin tiga atau empat kota,” ungkap lelaki asal Bone itu. Saat ditanya tentang kendala yang dihadapi saat ini, pihak ISOP merasa perlu mendatangkan penerjemah bahasa isyarat untuk kelancaran komunikasi saat pemberian materi fotografi berlangsung atau kegiatan yang lainnya dan berusaha untuk membuka cabang di Yogyakarta dan Jakarta.