Realita yang terjadi pada perkawinan antara perempuan difabel dengan laki-laki nondifabel adalah, timbulnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap wanita difabel tersebut. KDRT yang terjadi bukan bersifat secara fisik, tetapi lebih mengarah kepada perlakuan semena-mena suami kepada istri, seperti apa yang banyak terjadi di Kabupaten Bantul. Demikian hasil diskusi yang dilakukan Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas (HWDI) Cabang Bantul dalam pertemuan rutinnya.
Kondisi seperti ini dikuatkan dengan adanya salah satu pasal dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, isinya mengatakan bahwa “ Laki-laki boleh menikah lagi atau menceraikan istrinya apabila istri tersebut mengalami difabilitas”. Adanya aturan tersebut tentunya memberikan angin segar kepada laki-laki untuk berbuat semaunya terhadap istrinya. Biasanya yang belakangan ini terjadi adalah meninggalkan tanpa perceraian atau melakuan eksploitasi ekonomi terhadap perempuan difabel tersebut.
Urgensi Kesadaran Gender
Salah seorang difabel korban KDRT dari Bantul mengungkapkan kisah penelantaran keluarga oleh suaminya. Korban ditinggal dengan anak-anaknya . Selain penelantaran, masalah yang muncul di lapangan adalah perempuan difabel banyak dijadikan obyek eksploitasi ekonomi. Masalah tersebut dialami oelh seorang difabel asal Temanggung Jawa Tengah. Hanya sekelumit kasus perempuan difabel yang muncul di permukaan, tetapi tidak berarti kasus tersebut tidak ada. Justru banyak sekali korban KDRT, terutama perempuan difabel yang tidak mau mengungkapkan permasalahannya karena berbagai alasan, salah satunya takut dan malu. Hal tersebut seharusnya menjadi titik langkah untuk mendorong korban kekerasan untuk bicara dan melawan tindak kekerasan tersebut.
Difabel perempuan yang sudah termarginalisasi baik secara struktural dan secara sistem, mempunyai kerentanan yang lebih dibanding perempuan nondifabel. Penanaman perspektif gender dalam hubungan keluarga penting untuk dilakukan dengan membagi peran yang tidak mendiskriminasi satu sama lain. Pembangunan komitmen untuk sama-sama menghargai peran masing-masing dan penyelesaian masalah dengan tanpa kekerasan menjadi langkah untuk mengurangi kasus KDRT.