Dalam bahasa arsitektur, aksesibilitas berarti semua jalan masuk ke dalam suatu kompleks atau lokasi atau bangunan. Termasuk di dalamnya pintu dan tangga. Semua harus didesain sedemikian rupa sehingga menjamin atau meminimalisasi kecelakaan atau memaksimalkan keselamatan jiwa manusia penggunanya[i]
Misalnya desain sebuah gedung, diupayakan pintu darurat yang ada mampu mengakomodasi banyaknya penghuni yang hendak keluar dalam kondisi darurat. Misalnya ada kebakaran atau gempa bumi desain pintu darurat memungkinkan pengguna gedung keluar dalam waktu yang relative singkat sehingga jumlah korban dapat diminimalisasi.
Jadi,aksesibilitas bukan hanya mengacu pada difabel saja, seperti yang akhir-akhir ini menjadi landasan pemikiran banyak orang. Padahal sebenarnya aksesibilitas itu sendiri merupakan pendesainan bangunan untuk memudahkan pengguna dalam mengaksesnya. Namun, seperti yang telah digembar-gemborkan akhir-akhir ini, mencuatnya isu disabilitas di Indonesia telah melekatkan aksesibilitas lebih pada difabel.
Perda Kesetaraan Difabel Di Solo
Kota Solo dikenal sebagai kota yang ramah terhadap difabel. Cikal bakal Prof. dr. Soeharso, bapak difabel Indonesia dan juga keberadaan Rehabilitasi Centrum (RC) membuat kota ini akrab dengan keberadaan difabel. Pada akhirnya banyak difabel yang memutuskan nenetap si Kota Solo dengan harapan mendapatkan taraf hidup yang lebih baik disbanding kota asalnya. Ahmad Saidah misalnya, atlet wheelchair racing ini memutuskan tinggal di Solo bersama istri dan anaknya, dan berwiraswasta karena merasa iklim Kota Solo merupakan “surganya difabel.”
Dalam hal regulasi Kota Solo juga sudah selangkah lebih maju. Adanya Perda No. 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan difabel. Setelah diajukan ke DPRD pada akhir tahun 2003, kenyataannya Raperda itu baru diproses pada Juli 2008. Pembahasan Raperda ini berjalan cukup alot sehingga berlangsung sampai dua periode keanggotaan DPRD.
Perda versi kota Solo ini dinilai memberikan nafas baru dalam permasalahan disabilitas. Selama ini produk kebijakan yang ada lebih berorientasi pada upaya mensejahterakan difabel. Sementara Perda Kesetaraan Difabel ini berusaha memberikan kesempatan yang sama kepada difabel. Pengesahan Perda ini menunjukkan adanya pemenuhan regulasi kebutuhan difabel setara dengan nondifabel di berbagai lini kehidupan. Substansi Perda ini adalah kesetaraan, sehingga implementasinya luas bukan hanya meliputi satu bidang saja, tetapi mencakup secara keseluruhan. Pemerintah Kota Solo telah memiliki konsekuensi hukum untuk memenuhi hak difabel di wilayahnya. Pemenuhan hak tersebut meliputi pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, kepemilikan lahan, dan sebagainya.
Aksesibilitas Fasum Di Kota Solo
Meskipun telah memiliki payung hukum yang melindungi hak-hak difabel, tetapi implementasi dari Perda ini masih belum sepenuhnya tuntas. Ada beberapa hal yang masih menjadi perhatian akibat aksesibilitas difabel pada fasilitas umum (fasum) di Kota Solo yang belum sepenuhnya tercapai.
Fasum di beberapa gedung pemerintah yang penulis kunjungi yaitu di kantor Balaikota, kantor Dinas Pehubungan, kantor Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dikpora) aksesibilitasnya sudah cukup memadai. Ramp di bagian depan bangunan sudah aksesibel, baik dari kemiringan, lebar, adanya pegangan rambatan (handrail) maupun material yang digunakan tidak licin. Hanya sebagian dari ramp di bangunan-bangunan tersebut yang juga dilengkapi guding block bagi teman-teman difabel netra, yaitu di Balaikota Solo.
Menurut Andre Wahyudi dari Dinas perhubungan Kota Surakarta, ada beberapa ramp di Kota Solo yang terpaksa dibangun ulang karena terlalu curam. Menurutnya, pihaknya mendengarkan aspirasi dari teman-teman difabel yang memprotes fasilitas ramp di yang belum sepenuhnya aksesibel. Pada akhirnya, fasilitas-fasilitas tersebut dirombak ulang demi memenuhi kebutuhan akan aksesibilitas sesuai dengan yang dibutuhkan difabel.
Namun, dalam beberapa fasilitas umum, aksesibilitas sepenuhnya masih belum bisa terwujud. Seperti pengadaan guiding block di Jalan Perintis Kemerdekaan Laweyan Kota Solo. Di sepanjang jalan tersebut dilengkapi dengan guiding block berujud ubin yang bertekstur lebih kasar hingga memudahkan pengguna difabel netra.
Sayangnya pemasangan guiding block di jalan tersebut kacau dan justru membahayakan difabel netra. Di beberapa titik ditemukan guiding block yang membentur pada pohon, pembatas jalan bahkan ada yang nabrak tempat sampah.
Menurut Setyono, Petugas Lapangan PPRBM untuk wilayah Kota Solo menuturkan bahwa hal ini terjadi karena belum ada kesadaran di pihak pelaksana. Pemkot Solo sudah memiliki pemahaman yang baik akan aksesibilitas, tetapi pada tingkat implementasinya menjadi tidak sesuai karena kontraktor yang memasang guiding block tidak memiliki tingkat pemahaman yang sama, sehingga dikira asesoris belaka. Akibatnya pemasangannya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Perbedaan pemahaman di masyarakat umum tentang isu disabilitas ini masih sering terjadi. Bukan hanya dari sisi pemenuhan aksesibilitas saja, tetapi juga bidang-bidang lain. Akan tetapi di pemenuhan aksesibilitas di sarana dan prasarana fisiklah yang kelihatan sangat jelas.