Diskusi dan Audiensi Isu Jamkesmas dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI)

Yoyakarta,Solider.- Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) bersama lima organisasi tergabung dalam audiensi mengenai Jaminan Kesehatan untuk Difabel di Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Lima organisasi tersebut di antaranya adalah Persatuan Penyandang Cacat Kulon Progo (PPCKP), Persatuan Penyandang Cacat Sleman (PPCS), Wahana Keluarga Cirebal Palcy (WKCP), Forum Peduli Penyandang Disabilitas Bantul (FPDB), dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia). Diskusi dan Audiensi tersebut dilaksanakan di Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Jalan Wolter Monginsidi Yogyakarta, Selasa (20/8/2013).

Audiensi ini penting dilakukan terkait ditemukannya 2017 difabel yang tidak lolos Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di lima kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, padahal Yogyakarta sebagai Kota Inklusi sudah memiliki Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas . Fakta tersebut menunjukkan bahwa baru sebagian kecil masyarakat difabel yang mendapatkan pelayanan kesehatan. Bagi difabel yang mendapatkan jaminan kesehatan, pelayanan yang didapatkan kurang maksimal atau jauh dari standar yang dibutuhkan. Fakta lain yang dijumpai, beberapa difabel yang sudah mendapatkan Jamkesmas dicabut haknya tanpa alasan jelas.

Ary, salah satu wakil dari WKCP mengungkapkan dalam diskusi “Penderita Cerebal Palcy (CP) membutuhkan fisioterapi sepanjang hidupnya dan membutuhkan pembiayaan cukup besar. Demikian pula obat yang harus dikonsumsi dan tidak boleh berhenti, jika lupa tidak minum obat maka pengobatan harus diulang dari awal lagi. Biaya lain yang membarenginya adalah sarana transportasi serta akomodasi yang juga tinggi”.

Berdasarkan temuan fakta empirik di lapangan, SIGAB bersama lima organisasi difabel tersebut memandang perlu menindaklanjuti diskusi dan audiensi tentang Jamkesmas bagi para penyandang disabilitas serta review kriteria kepesertaan Jamkesmas. “Sangat penting dilakukan review Peraturan Presiden (Perpres) 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. Pengelompokan atau klasifikasi kriteria miskin yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dinilai tidak menyentuh kondisi para penyandang disabilitas yang pada kenyataannya mereka sangat membutuhkan jaminan kesehatan sepanjang hidupnya,” ungkap Purwati, salah satu perwakilan SIGAB.

Rancunya Kriteria Syarat Penerimaan

Selama ini pelaksanaan penetapan data kepesertaan Jamkesmas tahun 2013, mengacu kepada database terpadu yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berdasarkan hasil survei pendataan Program Perlindungan Sosial (PPS) tahun 2011 yang dilaksanakan BPS. Data yang dikeluarkan oleh BPS tidak satupun kriteria miskin yang menyentuh difabel, apalagi jika difabel itu menjadi bagian keluarga orang yang yang rata-rata memiliki penghasilan di atas Upah Minimum Regional (UMR). Kriteria untuk menentukan Jamkesmas tidak melihat tingkat kerentanan yang dialami oleh para penyandang disabilitas.

“Dalam penentuan kriteria kemiskinan, penyandang disabilitas tidak menjadi indikator untuk memperoleh jaminan kesehatan. Untuk itu indikator yang sudah ada perlu direview,” demikian Purwanti menyampaikan argumennya.

Sebagai gambaran konkret, ketika keluarga difabel dengan upah atau Gaji Rp. 1.500.000,- maka gaji mereka bisa dikatakan berada atas UMR sehingga secara otomatis mereka tidak termasuk kriteria miskin. Dapat dipastikan oleh BPS mereka tidak akan mendapatkan jaminan kesehatan. Namun, jika keluarga ini harus melakukan terapi pada anak mereka satu minggu dua kali dengan biaya sekali terapi 50.000 s/d 100.000,-, dalam satu bulan biaya yang harus mereka keluarkan kurang lebih 800.000, ditambah dengan biaya transport yang tentunya tidak sedikit maka upah meraka yang 1.500.000 akan tidak cukup untuk melakukan terapi tersebut. Hal tersebut tidak pernah menjadi bahan pertimbangan atau kriteria penentuan jaminan kesehatan. Itulah mengapa kriteria kemiskinan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini BPS sudah semestinya ditinjau ulang. Tinjauan tersebut dipaparkan oleh M. Joni Yulianto yang juga Direktur SIGAB.

Pandangan lain dari salah satu peserta diskusi, melihat banyak kejanggalan di atas, dalam hal ini pemerintah cukup serius membiarkan difabel meninggal dengan tidak memberikan akses layanan kesehatan yang sebaik-baiknya bagi mereka. “Ketidaktahuan ataupun ketidakpedulian pemerintah akan menyebabkan difabel termarginalkan dan termiskinkan,” ungkap Moh. Syafi’ie dari Divisi Penelitian dan Pengembangan SIGAB.

Agenda Riil Hak Kesehatan Difabel

Peserta diskusi menyetujui adanya peninjauan ulang terhadap indikator kepesertaan Jamkesmas untuk memisahkan antara kriteria untuk mengakses kebutuhan hidup (ekonomi) maupun untuk mengakses kualitas hidup (kesehatan). Harapan lain dari organisasi difabel peserta diskusi adalah pemberian jaminan kesehatan tidak dibatasi pada istilah cacat tetap, akan tetapi disabel adalah satu persyaratan kepemilikan Jamkesmas yang direkomendasikan dalam Asuransi Kesehatan (ASKES). Perlu pula perbaikan mengenai birokrasi penggunaan Jamkesmas yang terlalu panjang dan berbelit. Nihilnya mekanisme komplain dalam Jamkesmas juga menjadi permasalahan yang krusial.

Menanggapi fakta empirik yang terjadi di lapangan, Budi Masturi Ketua ORI memberikan tanggapan positifnya. “Hasil diskusi dan pengalaman empirik akan dijadikan data untuk mendukung terwujudnya kebijakan layanan jaminan kesehatan khususnya pada difabel yang terjadi akan diteruskan ke Ombudsman pusat untuk selanjutnya akan disusun action plan untuk perjuangan mewujudkan hak atas jaminan kesehatan bagi difabel,” ujar Budi kepada peserta diskusi.

Perubahan sistem adalah menjadi pangkal dan titik tolak. ehubungan dengan Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi tentang Hak Difabel (Penyandang Disabilitas) atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD). Ratifikasi UNCRPD melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 artinya Indonesia memiliki tanggung jawab membuat laporan tentang kemajuan dan keberpihakan pemerintahannya terhadap kehidupan difabel di negara ini.Kebijakan pengambilan setiap keputusan pun harus melibatkan berbagai unsur terkait, salah satunya difabel, karena merekalah yang tahu kebutuhan dasar bagi dirinya.

This entry was posted in Artikel, Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *