Seleksi Aparatur Sipil Negara Kuota Khusus Difabel: Sebuah Tinjauan Aksesibilitas

Pelaksanaan seleksi aparatur sipil negara masih belum berpihak pada aksesibilitas difabel. Karut marut sistem yang belum berpihak kepada aksesibilitas difabel ini belum juga tuntas. Mulai dari masalah kuota sampai aksesibilitas, belum juga rampung dari tahun ke tahun. Di sisi lain, kita sudah punya seabrek undang-undang yang mengatur kuota dan aksesibilitas dari setiap lini. Lalu, mengapa tetap saja belum aksesibel? Penulis ingin mengulas aksesibilitas seleksi ASN2014 sebagai referensi kritik aksesibilitas, khususnya untuk difabel netra.

Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara atau Kemenpan mengumumkan pendaftaran seleksi ASN khusus difabel sejak 28 September 2014 dan resmi dibuka pada Senin, 10 November 2014. Pemerintah memberikan kuota sebanyak 300 kursi untuk difabel. Berbagai reaksi dari organisasi-organisasi difabel pun muncul seiring dengan digulirkannya kuota khusus tersebut. Secara umum, jika kita telaah dari aspek kebijakan pemerintah, yakni UU no 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, jelas terjadi diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah karena kuota khusus yang diberikan sebanyak 300 orang masih belum sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-undang, yakni sebanyak satu orang dari seratus tenaga kerja atau satu persen dalam persentase.

Kuota sebanyak 300 tersebut juga hanya mengakomodasi difabel netra, difabel rungu wicara, dan difabel daksa. Jenis difabilitas lain seperti difabel mental intelektual tidak dimasukkan dalam kategori difabel yang bisa berkompetisi dalam seleksi ASN. Selain kuota yang belum mencukupi satu persen , adanya kategori difabilitas pada masing-masing formasi yang disediakan jelas membatasi hak difabel menjadi ASN ditinjau dari segi kualifikasi akademiknya. Sistem seleksi yang menggunakan computer assisted test (CAT) pun menimbulkan kekhawatiran terkait aksesibilitas terhadap program pembaca layar.

Pemerintah Belum Perhatikan Masalah Teknis

The devil is in the details. Detil pelaksanaan teknis penerimaan ASN juga harus menjadi perhatian, terutama tentang aksesibilitasnya untuk difabel. Sebab, dari beberapa diskusi dengan teman sesama difabel pendaftar seleksi ASN, terdapat beberapa hambatan teknis terkait dengan aksesibilitas pelaksanaan seleksi ASN kuota khusus difabel 2014.

Masalah yang pertama adalah masalah mengenai kode keamanan atau captcha pada formulir pendaftaran online (daring-red) di website panitia seleksi nasional (panselnas) Kode keamanan yang terdapat pada website panselnas dan portal Kementerian Sosial tidak dapat dibaca oleh program pembaca layar. Kode tersebut berbentuk gambar sehingga benar-benar tidak dapat diakses oleh program pembaca layar. Sebenarnya ada sebuah program Add On atau pengaya pada browser Mozilla Fire Fox bernama Webvisum yang dapat membantu difabel netra untuk menyalin captcha ke dalam clipboard. Hanya saja, gambar yang berubah-ubah tiap beberapa detik sekali membuat program ini tidak dapat membantu banyak karena proses penyalinan captcha ke dalam clipboard juga memerlukan waktu yang tidak sebentar. Untuk masalah ini, sebenarnya jika pemerintah mau, agar sistem informasi pelaksanaan ASN ini menjadi aksesibel bagi difabel, pemerintah dapat menggunakan kode keamanan yang berbentuk methematic captcha atau menyediakan captcha berbentuk audio sehingga difabel netra dapat mengakses website panselnas maupun portal Kementerian Sosial dengan mudah.

Selain itu, pada portal Kementerian Sosial, dalam setiap combo box yang harus diisi, pilihan yang disediakan berbentuk grafis sehingga tidak bisa diakses oleh program pembaca layar. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan mengubah pilihan yang terdapat pada combo box dalam bentuk teks, sehingga memudahkan difabel khususnya difabel netra dalam mengaksesnya.

Mengapa harus ditulis tangan?

Setelah proses pendaftaran online dilakukan, peserta kemudian diharuskan mengirimkan data seperti fotokopi ijazah yang telah dilegalisir, transkrip nilai, KTP, surat permohonan menjadi ASN, print out formulir pendaftaran ASN, . Yang menjadi hambatan bagi difabel netra juga celebral palcy (CP) tertentu yakni adanya keharusan surat lamaran atau permohonan menjadi ASN harus ditulis tangan. Dalam ketentuan alur pendaftaran seleksi ASN kuota khusus, tidak dijelaskan apakah panitia menerima tulisan tangan berbentuk huruf braille atau tidak. Hal ini jelas membingungkan. Jika pemerintah hanya menerima tulisan tangan biasa, maka jelas ini juga merupakan salah satu bentuk diskriminasi baru bagi difabel netra dalam seleksi ASN ini.

Dari banyaknya permasalahan layanan yang tidak aksesibel di atas, jelas menimbulkan tanda tanya besar bagi penulis terhadap sikap pemerintah dalam menanggapi aspirasi dari para difabel. Pertanyaan pertama adalah mengenai kesiapan pemerintah dalam menyelenggarakan seleksi ASN kuota khusus untuk difabel . Sudahkah pemerintah melihat secara seksama undang-undang yang mestinya menjadi panduan bukan sekedar peraturan mandul tanpa implementasi? Yang kedua, mengenai aksesibilitas pelaksanaan seleksi ASN kuota khusus. Sudahkah pemerintah melakukan assessment atau penilaian kebuthan yang mewadahi untuk mengetahui kebutuhan difabel dalam mengikuti seleksi ASN kuota khusus?

This entry was posted in Artikel. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *