Yogyakarta- “Inklusivitas di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, semakin dapat dirasakan dengan dukungan yang diberikan oleh pihak rektorat. D iantaranya pembangunan fasilitas gedung yang ramah difabel (lift) di Gedung Pusat (Rektorat), pembangunan ramp bagi pengguna kursi roda di berbagai fakultas, serta support rektorat terhadap Unit Kegiatan Mahasiswa Peduli Difabel (UKM-PD) UGM, ”ujar Mukhanif Yusuf Yasin, Ketua UKM-PD UGM, dalam sambutannya pada seminar “Menggagas UGM Sebagai Kampus Inklusi” bertempat di Auditorium Fakultas Teknik Pertanian UGM, Senin (24/11).
Namun demikian, inklusivitas itu belum sampai ke seluruh elemen, dalam hal ini program studi atau jurusan belum semuanya dapat diakses oleh difabel. “Sehingga untuk menciptakan inklusivitas, perlu usaha-usaha yang sistematis dan berkelanjutan yang melibatkan seluruh elemen, untuk memastikan bahwa inklusivitas sampai di tingkat prodi atau jurusan,” lanjut Khanif, sapaan akrab Mukhanif Yusuf Yasin.
Berdasakan data dari Unicef tahun 2011, hanya sekitar sepuluh persen difabel yang mengenyam pendidikan. Di mana sebagian besar hanya mengenyam pendidikan dasar dan menengah, dan sebagian lagi berhenti di tengah jalan. Sehingga mainstreaming isu harus dilakukan dalam berbagai jenjang dan jalur. Dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini, Difabel masih tergolong sebagai kelompok rentan dan termarginalkan.
Selain Mukhanif, narasumber yang ikut berdiskusi dalam kesempatan tersebut adalah Pendiri Pusat Layanan Difabel (PLD) Univeristas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Ro’fah Makin dan Ulfa Fatmalarizha Peneliti Kebijakan Yang Inklusif dari Universitas Brawijaya (UB) Surabaya.
“Dengan mengundang pakar pendiri dan penggagas kampus inklusif, harapannya dapat memberikan masukan-masukan yang mendukung UGM Yogyakarta menuju kampus yang inklusif,” ujarnya.
Perlu Political Will
Menurut Ro’fah, Perguruan Tinggi (PT) Inklusif, tidak hanya berhenti sampai dengan menerima mahasiswa difabel saja. Namun, harus dibarengi dengan pemenuhan hak-hak bagi mahasiswa difabel. “Aksesibilitas, merupakan salah satu hak bagi difabel yang harus dipenuhi. Sehingga dengan terpenuhinya hak atas aksesibilitas, mahasiswa dapat menjalankan fungsi sosialnya secara equal/setara dengan mahasiswa non-difabel,” ujar Ro’fah.
“Pada dasarnya PT yang inklusif hendaknya memenuhi hak-hak mahasiswa difabel tanpa harus melihat kuantitas, tapi lebih pada hak yang harus terpenuhi,” Ro’fah menekankan dalam diskusi.
Political will dari petinggi PT, dalam hal ini pihak rektorat, menurut Ulfa Fatmalarizha, merupakan hal penting yang harus didorong dalam menciptakan PT Inklusif. “Menyusun grand design dan mengajukannya pihak rektorat, selanjutnya menyiapkan infrastruktur yang aksesibel, serta memodifikasi tugas-tugas ujian, serta adanya konseling baik bagi mahasiswa, orang tua maupun pendidik. Hal-hal tersebut merupakan langkah yang dilakukan dalam menciptakan UB Malang menjadi kampus inklusif,” ungkap Ulfa.